- SEJARAH RINGKAS DINAMIKA POLITIK
UMMAT ISLAM
(610 – SEKARANG)
Sistem politik Islam memang
berbeda dengan sistem-sistem politik lainnya. Sepakatlah semua pemikir muslim
bahwa Madinah adalah negara Islam yang pertama, dan apa yang dilakukan
Rasulullah setelah hijrah dari Makkah ke Madinah adalah memimpin masyarakat
Islam dan memerankan dirinya bukan hanya sebagai Rasul semata tetapi juga
sebagai kepala negara Islam Madinah.
Keadaan
Kaum Muslimin masa Khilafah dan Masa Sekarang
Sejarah
Islam masa lalu, tentu saja tidak semuannya indah dan selalu berada dalam
kemajuan dan keemasan. Namun demikian, secara umum dapat dinyatakan bahwa ummat
masa khilafah betul-betul dikagumi sekaligus disegani oleh musuh-musuh Islam.
Bahkan selalu dijadikan rujukan dalam pengembangan Ilmu Pengetahuan. Dengan
kata lain, umat Islam waktu itu mencapai kemajuan dalam berbagai bidang, baik
bidang pembangunan, ilmu pengetahuan, maupun kebudayaan.
Dari
segi wilayah, Islam memiliki wilayah sangat luas :
1. Di sebelah barat; melalui
Afrika Utara sampai ke Spanyol
2. Di sebelah timur; melalui
Cina sampai Hawaii;
Daerah-daerah itu tunduk
kepada kekuasaan khalifah yang pada mulanya bekedudukan di Madinah, kemudian di
Damsyik, di Baghdad dan berakhir Istambul.
Begitu pun dalam Ilmu
Pengetahuan, baik dalam bidang keislaman, maupun sains, dan kebudayaan Islam.
Zaman inilah yang menghasilkan ulama-ulama besar seperti Imam Malik, Imam Abu
Hanifah, Imam Syafi’i, dan Imam Ibn Hanbal dalam bidang fiqh. Imam al-As’ari,
Imam al-Maturidi, pemuka-pemuka Mu’tazilah seperti Washil Ibn Atha, Abu Huzail,
al-Nazzam, dan al-Juba’i dalam bidang tauhid. Zunnun al-Mishri, Abu Yazid
al-Busthami, dan al-Hallaz dalam tasawuf. Al-Kindi, Al-Farabi, Ibn Sina dan Ibn
Miskawih dalam Filsafat, dan Ibn al-Hisyam, al-Khawarizmi, al-Mas’udi, dan
al-Razi dalam bidang sains.
Keadaan diatas berbanding
terbalik dengan keadaan ummat masa sekarang. Ummat Islam masa sekarang secara
umum terbelakang yang mengekor dan mengadopsi berbagai hal dari Barat, terutama
di bidang ilmu pengetahuan, setelah sebelumnya berada dalam kungkungan dan
penjajahan negara-negara Barat.
Memang benar, umat Islam
secara fisik sudah tidak lagi dijajah oleh mereka, tetapi secara hadlarah dan
ekonomi siapa yang bisa mengelak dari penjajahan mereka. Bahkan tidak sedikit
tokoh-tokoh Islam yang menjadi kaki tangan musuh Islam demi mendapatkan
keuntungan pribadi.
Keadaan tersebut diperparah
oleh keengganan untuk bersatu di antara sesama ummat Islam, bahkan tidak
sedikit yang berhasil diadu domba oleh mereka orang-orang Barat. Sehingga
seringkali terjadi pertempuran di antara sesama ummat Islam.
Begitu pula di bidang ilmu
pengetahuan, apalagi teknologi, ummat Islam betul-betul kedodoran, jangankan
bisa menemukan hal-hal baru, untuk mengoperasikan apa-apa yang sudah ada saja
ummat Islam masih kesulitan.
Hal itu hanya sedikit saja
dari gambaran kemunduran yang dialami secara umum oleh semua ummat Islam.
Keadaan demikian, tentu saja tidak boleh dibiarkan berlarut, tetapi seharusnya
semua ummat Islam berusaha untuk mencari tahu sebab-sebab kemunduran tersebut.
Ternyata, diantara sebab-sebab
dominan dari kemunduran tersebut menurut sebagian ilmuwan, sebagaimana
dikemukakan oleh Ilmuwan Kontemporer, Ahmad Syakib Arsalan, antara lain :
1. Mulai lunturnya semangat
keislaman kaum muslimin, untuk hidup sesuai dengan yang telah digariskan Islam.
Bahkan konon menurutnya semangat keislaman ummat sekarang hanya 5% saja
sedangkan ummat Islam dahulu mencapai 100 % maka tidak akan sama hasil yang
diperoleh keduanya;
2. Adanya taklid buat di
kalangan kaum muslimin, dan keengganan untuk berubah, karena sudah merasa puas
dengan apa-apa yang dihasilkan oleh mereka para ilmuwan terdahulu terutama di
bidang ilmu pengetahuan;
3. Keengganan untuk berjihad
dalam arti berjuang dan berperang melaksanakan kehendak Allah.
Bila ketiga hal di atas bisa
diwujudkan kembali oleh ummat Islam, maka menurutnya, diyakini kemajan dan masa
keemasan ummat bisa diraih kembali, bahkan bisa melebihi kemajuan musuh-musuh
Islam.
Landasan
Politik di Masa Rasulullah: 622 – 632 (10 tahun)
Langkah-langkah Rasulullah
dalam memimpin masyarakat setelah hijrahnya ke Madinah, juga beberapa kejadian
sebelumnya, menegaskan bahwa Rasulullah adalah kepala sebuah masyarakat dalam
apa yang disebut sekarang sebagai negara.
Bai’at aqabah menurut Munawir
Sadjali (Islam dan Tata Negara, 1993) merupakan batu pertama bangunan negara
Islam. Bai’at tersebut merupakan janji setia beberapa penduduk Yathrib kepada
Rasulullah, yang merupakan bukti pengakuan atas Muhammad sebagai pemimpin,
bukan hanya sebagai Rasul, sebab pengakuan sebagai Rasulullah tidak melalui
bai’at melainkan melalui syahadat. Dengan dua bai’at ini Rasulullah telah
memiliki pendukung yang terbukti sangat berperan dalam tegaknya negara Islam
yang pertama di Madinah. Atas dasar bai’at ini pula Rasulullah meminta para
sahabat untuk hijrah ke Yathrib, dan beberapa waktu kemudian Rasulullah sendiri
ikut Hijrah bergabung dengan mereka.
Umat Islam memulai hidup
bernegara setelah Rasulullah hijrah ke Yathrib, yang kemudian berubah menjadi
Madinah. Di Madinahlah untuk pertama kali lahir satu komunitas Islam yang bebas
dan merdeka di bawah pimpinan Nabi Muhammad, Penduduk Madinah ada tiga
golongan. Pertama kaum muslimin yang terdiri dari kaum Muhajirin dan Anshar,
dan ini adalah kelompok mayoritas. Kedua, kaum musyrikin, yaitu orang-orang
suku Aus dan Kharaj yang belum masuk Islam, kelompok ini minoritas. Ketiga,
kaum Yahudi yang terdiri dari empat kelompok. Satu kelompok tinggal di dalam
kota Madinah, yaitu Banu Qunaiqa. Tiga kelompok lainnya tinggal di luar kota
Madinah, yaitu Banu Nadlir, Banu Quaraizhah, dan Yahudi Khibar. Jadi Madinah
adalah masyarakat majemuk. Setelah sekitar dua tahun berhijrah Rasulullah
memaklumkan satu piagam yang mengatur hubungan antar komunitas yang ada di
Madinah, yang dikenal dengan Piagam (Watsiqah) Madinah. Inilah yang dianggap
sebagai konstitusi negara tertulis pertama di dunia. Piagam Madinah ini adalah
konstitusi negara yang berasaskan Islam dan disusun sesuai dengan syariat
Islam. Piagam Madinah dibuat dengan asas Islam serta syariat Islam sebagai
tolok ukur perbuatan yang sekaligus juga merupakan konstitusi dari negara
tersebut yang berlaku bagi kaum muslimin dan segenap penduduk Madinah tanpa
menbeda-bedakan suku dan agamanya.
Secara umum, Konstitusi Negara
Islam Madinah adalah piagam yang mengatur hubungan antar warga masyarakat.
Piagam tersebut menjelaskan hak dan kewajiban warga negara, baik yang beragama
Islam maupun Non Islam. Disamping itu disebutkan pula didalamnya bahwa warga
Yahudi, harta mereka, dan jiwa mereka mempunyai hak dan kewajiban dalam piagam
tersebut. Mereka mempunyai hak untuk mendapatkan perlindungan dan pengayoman.
Dan dijelaskan pula bahwa bilamana terjadi perselisihan, undang-undang
Islam-lah yang harus diikuti.
Konstitusi tersebut bisa
dianggap sebagai tanda diletakkannya asas dasar Negara Islam. Dan orang Islam
merupakan penanggung jawab dari Negara Islam yang berpenduduk dari berbagai ras
dan suku bangsa.
Dengan demikian, ummat Islam
(kaum Muslimin) mempunyai negara dan pemerintahan yang bebas merdeka dan
berdaulat penuh dalam mengurusi kepentingan-kepentingannya.
Dengan demikian, timbullah
suatu masyarakat Islam yang aman sejahtera berlandaskan ajaran-ajaran agama
Islam yang kemudian disusul dengan mendirikan suatu Negara dan Pemerintahan
Islam yang pertama yang merdeka dan berdaulat penuh.
Negara Islam di Madinah ini didirikan
bertujuan untuk mempertahankan dan melindungi para penduduknya, menegakkan
keadilan diatara sesama manusia, mengembangkan ilmu pengetahuan, memanfaatkan
harta kekayaan, mengikat tali perdamaian dan persahabatan di antara sesama
manusia. Pada masa itu Nabi Saw. di samping sebagai rasul dan pemimpin agama
maka beliau juga sekaligus sebagai kepala negara.
Daulah Islamiyyah di Madinah
ini dipimpin Rasulullah Saw. selama kurang lebih 10 tahun. Pada masa
kepemimpinannya telah diletakkan prinsip-prinsip dasar bagi pemerintahan Negara
Islam sehingga dapat berkembang dengan sangat pesat dan maju, karena beliau
selalu melaksanakan segala perbuatan sesuai dengan apa yang telah diucapkannya.
Hal ini sebagai suri tauladan bagi ummatnya.
Dengan itupun Rasulullah Saw.
telah menjadikan dirinya sebagai seorang pemimpin yang berwibawa dan bijaksana
sehingga para penduduk Madinah pun telah dapat mengangkat beliau sebagai
seorang pemimpin dan penguasa tunggal bagi negaranya, disamping mereka tunduk
dan patuh terhadap perintah-perintahnya, sehingga mereka pun tidak merasa takut
terhadap musuh-musuhnya.
Kepemimpinan Rasul Saw
dilakukan dengan penuh bijak, sehingga dapat terjalin persatuan dan kesatuan
diantara kaum muslimin atas dasar kesamaan agama yang lebih berbobot ketimbang
berdasarkan tali ikatan kekeluargaan dan kekerabatan (keturunan). Dengan
demikian agama Islam bukan saja hanya sekedar merupakan norma-norma dan
peraturan keagamaan, tetapi juga sekaligus merupakan norma-norma sistem
kenegaraan yang teratur.
Sebagai Kepala Negara,
Rasulullah sadar betul akan arti pengembangan sumber daya manusia, dan yang
utama sehingga didapatkan manusia yang tangguh adalah penanaman aqidah dan
ketaatan kepada Syariat Islam. Di sinilah Rasulullah, sesuai dengan misi
kerasulannya memberikan perhatiaan utama. Melanjutkan apa yang telah beliau
ajarkan kepada para sahabat di Makkah, di Madinah Rasul terus melakukan
pembinaan seiring dengan turunnya wahyu. Rasul membangun masjid yang dijadikan
sebagai sentra pembinaan umat. Di berbagai bidang kehidupan Rasulullah
melakukan pengaturan sesuai dengan petunjuk dari Allah SWT. Di bidang
pemerintahan, sebagai kepala pemerintahan Rasulullah mengangkat beberapa
sahabat untuk menjalankan beberapa fungsi yang diperlukan agar manajemen
pengaturan masyarakat berjalan dengan baik. Rasul mengangkat Abu Bakar dan Umar
bin Khattab sebagai wajir. Juga mengangkat beberapa sahabat yang lain sebagai
pemimpin wilayah Islam, diantaranya Muadz Bin Jabal sebagai wali sekaligus
qadhi di Yaman.
Sebagai Kepala Negara,
Rasulullah melaksanakan hubungan dengan negara-negara lain. Menurut Tahir
Azhari (Negara Hukum, 1992) Rasulullah mengirimkan sekitar 30 buah surat kepada
kepala negara lain, diantaranya kepada Al Muqauqis Penguasa Mesir, Kisra
Penguasa Persia dan Kaisar Heraclius, Penguasa Tinggi Romawi di Palestina. Nabi
mengajak mereka masuk Islam, sehingga politik luar negeri negara Islam adalah
dakwah semata, bila mereka tidak bersedia masuk Islam maka diminta untuk
tunduk, dan bila tidak mau juga maka barulah negara tersebut diperangi.
Masa
Khulafaur Rasyidin: 632-661 / 11 – 40 H (29 tahun)
Selepas wafat Rasulullah
s.a.w, para sahabat menyambung kepemimpinan dengan mereka melantik Abu Bakar
As-Siddiq sebagai khalifah yang menjalankan pemerintahan negara Islam yang kemudian
dilanjutkan dengan para sahabat yang lain yakni Umar bin Khatab, Utsman bin
Affan, Ali bin Abi Thalib dan Hasan bin Ali.
Para sahabat sepakat untuk
tidak membuat kevakuman dalam kedudukan khalifah tidak lebih dari 3 (tiga)
hari. Perhatian utama ini jelas terlihat ketika pengangkatan (pembai’atan) Abu
Bakar Ash Shiddiq sebagai khalifah, sahabat Sa’id bin Zaid berkata: “Mereka
(kaum Muslimin) tidak suka hidup barang seharipun tanpa adanya pemimpin jama’ah
(khalifah)”.
Meskipun Abu Bakar memerintah
kaum muslimin dalam tempo yang amat singkat, tapi banyak hal yang bisa
diselesaikan. Ancaman disintegrasi (pemurtadan), kerusuhan rasial antar suku
dan golongan, dan berbagai gejolak dalam negeri segera dapat diatasi.
Kehidupan perpolitikan masa
kekhalifahan Khulafaur Rasyiddin, berlandasankan Al Qur’an serta Sunnah
Rasulullah, kehidupan bermasyarakat dibangun dengan empat pilar pemerintahan,
antara lain:
1. Kedaulatan di tangan syara’
2. Kekuasaan milik ummat
3. Mengangkat Khalifah
hukumnya fardhu bagi seluruh kaum muslimin
4. Hanya khalifah yang berhak
mentabanni (melakukan adopsi) terhadap hukum-hukum syara’.(Sistem Pemerintahan
Islam, 1997)
Dengan keempat pilar ini
pemerintahan ditegakkan atas wilayah-wilayah yang menjadi bagian negara Islam
yang semakin meluas. Dengan adanya daulah Islam dengan keempat pilarnya
tersebut kepentingan Islam, yaitu tegaknya hukum Islam di muka bumi dapat
dilaksanakan. Setiap takluknya suatu wilayah menjadi negeri Islam, maka syariat
Islam langsung ditegakkan di sana. Dan berbondong-bondong bangsa masuklah
kedalam naungan Islam. Masuknya manusia ke dalam Islam secara berbangsa ini
adalah hal yang sulit dibayangkan bagaimana terjadinya di masa kini serta
berbondongnya manusia memeluk suatu agama hanyalah terjadi kepada al Islam.
Dalam kehidupan masyarakat,
hukum Islam tetap ditegakkan sebagai satu-satunya hukum yang mengatur
masyarakat Islam, walaupun semakin banyak suku bangsa yang masuk dalam daulah
Islam. Dengan hukum-hukum Islam maka keadilan Tasyri’ dapat ditegakkan pula
(Hidup Sejahtera Dalam Naungan Islam, 1995). Piagam Madinah yang mencerminkan
keragaman masyarakat yang ada tetap menjadi rujukan dengan tidak mengutamakan
satu suku bangsa diantara yang lain, juga tidak merendahkannya dibandingkan
yang lain.
Masa
Khalifah Bani Umayyah: 661-750 / 41 – 132 H (89 tahun)
Pada umumnya pasca Khulafaur
Rasyidin, pemerintahan Islam seringkali dipandang tidak sesuai lagi dengan
syariat Islam. Peristiwa pemberontakan (bughat) Wali Syam Mu’awiyah bin Abi
Sufyan kepada Khalifah Ali bin Abi Thalib yang diperangi dalam Perang Siffin,
kemudian berlanjut dengan kekisruhan negara pada masa kekhalifahan Ali yang
diakhiri dengan terbunuhnya sang Khalifah oleh Kaum Khawarij.
Diawali oleh Khalifah
Mu’awiyah yang pernah membantu Rasulullah saw untuk menjadi sekretaris negara
di masanya (Ensiklopedi Umum, 1984), kemudian pada masa Khalifah Umar bin
Khattab, karena kecakapannya diamanahi menjadi Wali di daerah Syam, yang terus
berlanjut sampai Kekhalifahan Ali bin Abi Thalib, sampai akhirnya dengan terbunuhnya
Ali, Mu’awiyah karena pengaruhnya yang besar kemudian diba’iat menjadi khalifah
berikutnya pada tahun 41H/661M setelah Khalifah Hasan bin Ali, mundur dan
berbaiat kepadanya. Penguasaan keluarga ini berakhir pada tahun 132H/750M,
dengan terbunuhnya Khalifah keempat belas Marwan bin Muhammad Al Ja’di oleh
pemberontakan yang dilakukan Abu Muslim Khurasai.
Sebagaimana khalifah-khalifah
sebelumnya, keempat belas Khalifah dari Keluarga Umayyah ini telah menggoreskan
sejarah dengan karakteristik tersendiri. Inilah yang kemudian dinyatakan
sebagai keberhasilan atau kelemahan dalam keberadaannya. Sedikit tentang
sejarah yang ditorehkannya antara lain;
1. Mulai adanya penyempitan
calon-calon yang diajukan sebagai khalifah pengganti khalifah sebelumnya. Yaitu
calon-calon tersebut harus berasalkan dari keluarga Umayyah. Inilah yang
dikatakan sebagai penyimpangan dari ajaran Islam, tetapi sejauh mana
penyimpangan tersebut. Secara lebih spesifik bahasannya disendirikan di bagian
akhir.
2. Perluasan wilayah Islam dapat
diperoleh dalam waktu yang cukup singkat. Dalam kekuasaannya selama 90 tahun,
wilayah Islam semakin luas, mulai dari Spanyol, sampai dengan India. Penaklukan
militer ini berjalan cepat terutama pada pemerintahan Khalifah Al Walid.
Segenap Afrika Utara diduduki dan pada tahun 91 H / 710 M pasukan Muslim
menyebrangi Selat Gibraltar lalu masuk ke Spanyol, kemudian menyebrangi Sungai
Pyrenees dan menyerang Carolingian Prancis. Di Timur, seorang Wali Arab
menyusup melalui Makran masuk ke Sind, menancapkan Islam untuk pertama kalinya
di India (Dinasti-Dinasti Islam, 1993).
3. Pembangunan fisik semakin
marak dilakukan. Apabila pada masa Rasulullah dan Khulafaur Rasyiddin,
pembangunan terlihat lebih fokus kepada pembangunan ruhul Islam, dalam artian
penerapan hukum-hukum Islam di muka bumi. Pada masa Umayyah pembangunan fisik
dan perkembangan ilmu pengetahuan semakin berkembang, hal-hal yang khusus
antara lain. Penghijauan daerah Mekkah dan Madinah pada masa Khalifah
Mu’awiyah, pembuatan mata uang Islam pada masa Khalifah Abdul Malik,
penghimpunan hadits-hadits Nabi pada masa Umar bin Abdul Aziz. Kemudian Masjid
Raya Damaskus didirikan oleh Khalifah Al Walid I serta Madrasah al Nuriyah di
Damaskus pun dibangun untuk sarana pendidikan.
Kehadiran Islam di daerah-daerah
taklukannya bagaikan hujan yang mengguyur padang yang kering, sehingga
menumbuhkan benih-benih tumbuhan yang bersemi, berbunga dan menampakkan
buahnya. Kejayaan Islam pun nampak. Bila pada masa Khulafaur Rasyiddin kejayaan
secara fisik masih belum terlihat, maka mulai Masa Umayyah inilah mulai
terlihat hasilnya. Sarjana-sarjana Islam mulai bermunculan, Ilmu Pengetahuan
berkembang pesat, pembangunan fisik marak dilakukan. Kota-kota baru dibangun.
Inilah karunia Allah. Di mana Islam kemudian menjadi rahmatan lil ‘alamin.
Kejayaan Islam ini salah
satunya ditunjukkan dengan kesejahteraan yang terjadi. Diriwayatkan dalam masa
Khalifah Umar bin Abdul Aziz oleh Yahya bin Sa’ad menceritakan bahwa:
“Saya
diutus oleh Amirul Mukminin, Umar bin Abdul Aziz untuk memberikan zakat di
Afrika, dan saya jalankan tugas itu. Saya cari orang-orang fakir di sana untuk
diberi zakat, tetapi saya tidak mendapati adanya orang-orang fakir dan miskin
yang mau menerima zakat. Dan orang-orang mengatakan: ‘Umar bin Abdul Aziz yang
membuat orang-orang menjadi kaya’”
Namun seringkali keberadaan
khalifah-khalifah ini dipandang sebelah mata. Kebesaran yang dibangunnya seolah
pupus dengan khilaf yang dilakukannya yang mungkin apabila dibandingkan dengan
pemimpin-pemimpin masa sekarangpun, masih jauh perbandingannya. Mungkin
perbuatan Yazid pada Peristiwa Karbala, 10 Muharam, pembantaian Husein r.a. dan
keluarganya memang sepertinya tidak dapat dimaafkan, namun Mu’awiyah mungkin
bisa dinilai berbeda. Beliau adalah orang yang sejaman dengan Rasul saw,
Khalifah keenam, Politikus ulung, serta penghalau Byzantium di daerah utara
Islam. Namun karena kesalahannya memaksakan anaknya Yazid untuk menjadi
khalifah sehingga menerapkan sistem putera mahkota dalam pemerintahan Islam
maka seolah pupus kebajikan yang dibuatnya.
Masa
Khalifah Bani Abbasiyyah: 750-1517 / 132-923 H (767 tahun)
Setelah Umayyah jatuh dan
digantikan oleh Abbasiyah. Pusat pemerintahan di Baghdad, kota yang dibangun
oleh Abu Ja’far al-Mansur khalifah kedua, tahun 145 H./762 M. Selama pemerintahan
Abbasiyah, Irak khususnya Baghdad, menjadi pusat kegiatan politik, ekonomi,
perdagangan, peradaban dan ilmu pengetahuan di dunia Islam timur. Puncak
kejayaan dicapai pada masa pemerintahan Khalifah Harun ar-Rasyid (786-809) dan
Khalifah al-Makmun (813-833). Dalam kurun waktu tersebut mengalami kemajuan
pesat di bidang ekonomi, berbagai cabang ilmu pengetahuan, konstruksi dan
teknologi, kesenian, sastra dan politik yang stabil di wilayah kekuasaan yang
luas. Setelah kurun waktu tersebut, mengalami disintegrasi politik.
Kemajuan
di bidang ekonomi dan perdagangan membawa dampak kepada kemajuan ilmu
pengetahuan, filsafat dan kebudayaan Islam. Disamping dana tersedia,
pengembangan bidang ini juga didorong pemerintah dengan menyediakan berbagai
fasilitas dan memberikan kebebasan intelektual.
Pengembangan ilmu pengetahuan
dilakukan dengan beberapa cara:
1. Pertama, dilakukan
penerjemahan buku-buku Yunani, Persia, Suriah, India dan Koptik ke dalam bahasa
Arab. Ribuan buku diambil dari perpustakaan-perpustakaan lama, dibawa ke Irak
untuk diterjemahkan dan perpustakaan-perpustakaan baru didirikan. Gerakan
penerjemahan ini berlangsung tahun 750-850.
2. Kedua, karya-karya yang
diterjemahkan itu kemudian diberi komentar oleh para sarjana Islam. Teori-teori
yang ada diberi penjelasan dan disesuaikan dengan Islam. Melalui renungan,
pengamatan, penelitian dan eksperimen, mereka dapat melahirkan teori-teori dan
konsep-konsep baru. Dari kegiatan ini mereka menghasilkan ribuan karya tulis
dalam berbagai cabang ilmu pengetahuan.
3. Ketiga, didirikan
lembaga-lembaga pendidikan dari tingkat dasar sampai tingkat tinggi, seperti
Baitul Hikmah, Majelis al-Manazarah dan Madrasah Nizamiyah. Masjid-masjid,
istana dan rumah para sarjana difungsikan sebagai tempat-tempat belajar.
Baghdad, Basra, Kufah dan Mosul menjadi pusat pengembangan berbagai cabang ilmu
pengetahuan, seperti tafsir, hadits, fiqh, bahasa, sejarah, filsafat, ilmu
alam, ilmu pasti, matematika, astronomi, kedokteran, ilmu kalam, musik dan
sastra. Seni ukir, seni lukis dan arsitektur Islam tampak dalam
bangunan-bangunan masjid-masjid di Baghdad, Basra dan Kufah; juga pada istana
di Baghdad dan Samarra. Keempat kota ini melahirkan ulama dan tokoh pemikir
serta ribuan lulusan, yang kemudian menyebar ke berbagai negeri Islam dan
mengembangkan ilmu pengetahuan di negeri masing-masing. Karena itu selama
Dinasti Abbasiyah berkuasa di Irak, perkembangan ilmu pengetahuan dan
kebudayaan Islam merata di berbagai kota penting di luar Irak.
Kejayaan Abbasiyah berakhir
setelah Baghdad dihancurkan Hulagu Khan dari Mogul tahun 1258.
Masa
Kekhilafahan Utsmaniyah: 1517-1924/ 923-1349 H (407 tahun)
Kata “Utsmaniyah” yang berarti
anak-anak Utsman, didirikan oleh Utsman (1258-1326). Mencapai keemasannya
selama tahun 1481-1566, dalam masa pemerintahan Bayezid II (1481-1512), Selim I
(1512-1520), dan Suleiman I (1520-1566). Bayezid mengembangkan wilayah
kekuasaan hingga ke daratan Eropa, hingga Laut Hitam, dan Asia Timur. Bayezid
digantikan oleh putranya, Selim I. Dalam waktu singkat, kekuasaan Utsmaniyah
berhasil menjangkau Suriah, Mesopotamia (Iraq), Arab dan Mesir. Saat berada di
Mekkah, Selim mengangkat dirinya sebagai khalifah, pemimpin seluruh umat
Muslim. Dengan kekuasaan penuh atas dunia Arab, Selim memboyong para
cendekiawan dan seniman untuk datang ke Konstantinopel, ibukota dinasti Utsmani
yang direbut dari tangan Byzantium tahun 1453 silam.
Selim I kemudian digantikan
oleh putranya, Sulaiman I (1520-1566). Gebrakan Sulaiman pada masa awal
pemerintahannya sungguh mengesankan. Setahun setelah memerintah, Beograd
berhasil ditaklukkan. Setahun kemudian, 1522, giliran Rhodes yang jatuh ke
tangan Utsmani, sementara itu kekuatan militer Hungaria dihancurkan. Tahun
1529, Afrika Utara berhasil direbut, disusul oleh Tripoli tahun 1551. Pada
setiap kota utama yang ditaklukannya, Sulaiman menghiasinya dengan mesjid,
aquaduk, jembatan dan berbagai fasilitas umum lainnya.
Kegemilangan yang dibawa oleh
Sulaiman I, ternyata juga membawa bibit kemunduran. Sulaiman mulai lebih banyak
melewatkan waktunya di harem, daripada memikirkan perkembangan kenegaraan. Hal
ini memberi kesempatan bagi wakil dan para menterinya untuk sedikit demi
sedikit menggerogoti kekuasaan Sulaiman. Turki Utsmani praktis lemah dari
dalam, sementara di luar mereka harus menghadpai kenyataan semakin kuatnya
Eropa, yang kini telah mengambil format negara-bangsa. Sulaiman I kemudian
digantikan oleh Selim II (1566-1574).
Di tengah kemundurannya, Turki
Utsmani masih sempat melebarkan sayapnya. Upaya revitalisasi yang dilakukan
semasa pemerintahan Murad III (1574-1595) berhasil membuat daerah Kaukasus dan
Azerbaijan direbut. Dengan kedua daerah penaklukan baru ini, Turki Utsmani mencapai
luas bentangan geografis yang terbesar sepanjang sejarahnya. Walau
bagaimanapun, bola salju kemunduran Turki sudah tak bisa ditahan lagi.
Keberhasilan untuk merebut Kaukasus dan Azerbaijan tempo hari hanya berumur
pendek. Kedua daerah kekuasaan baru tersebut kembali lepas tahun 1603. Keadaan
ini masih diperburuk lagi dengan perang 41 tahun melawan Eropa sejak 1683.
Turki harus rela kehilangan sebagian besar daerah Balkan dan Laut Hitam akibat
perang berkepanjangan ini.
Puncak kemunduran Turki
Utsmani terjadi pada 1850-1922. Demikian lemahnya Turki hingga digambarkan
sebagai “Orang sakit dari Eropa”. Turki terlibat Perang Dunia I, untuk
bergabung bersama Jerman-sebuah pilihan keliru yang berujung pada kekalahan dan
keterpurukan yang lebih dalam. Di dalam negeri, kekalahan tersebut
membangkitkan gerakan nasionalis Turki yang telah muak dengan kemerosotan moral
yang dialami oleh pemimpin mereka. Tahun 1922, kesultanan Turki dibubarkan oleh
Mustafa Kemal Pasha yang tak lama kemudian diangkat menjadi Presiden Republik
Turki. Khalifah Abdul Majid yang terakhir berkuasa, terusir ke luar Turki.
Kehancuran
Khilafah
Kehancuran Khilafah Islamiyah, tak diragukan lagi adalah sebuah episode sejarah
umat Islam yang paling tragis, memilukan, dan menyakitkan. Betapa tidak,
kejadian yang sudah berlalu 78 tahun lalu itu dampak buruknya sedemikian
dahsyat dan masih terasa akibatnya yang pedih sampai sekarang. Kaum muslimin
hidup nista dan terlunta-lunta, bahkan terus tertindas dan terjajah di bawah
cengkeraman negara-negara adidaya Barat yang kafir.
Hancurnya Khilafah telah
melenyapkan negara yang mampu mempersatukan umat Islam dalam sebuah ikatan
Aqidah Islamiyah yang mampu melebur orang Ajam dan Arab sebagai satu kesatuan
yang utuh. Negara Khilafah inilah yang dulu mampu membendung laju imperalisme
Eropa yang akan menjajah negeri-negeri Islam yang kaya dengan sumber daya alam
dan mampu mencegah ambisi kotor Zionisme untuk merampas tanah Palestina yang
suci dan diberkahi.
Hancurnya Khilafah telah
memungkinkan Eropa untuk memecahbelah negeri-negeri Islam, memutuskan
hubungannya satu sama lain dengan menebarkan ide nasionalisme, dan mendudukinya
secara langsung. Perancis telah menduduki Suriah dan Lebanon, sementara Inggris
berhasil menduduki Irak, Yordania, dan Palestina (Al Qadhamani, 1986).
Hancurnya Khilafah telah
memusnahkan sebagian besar hukum-hukum Allah di muka bumi. Yang tersisa
hanyalah secuil hukum-hukum seputar akhlaq, ibadah, dan sebagian kecil muamalah
seperti al ahwalusy syakhshiyyah (hukum tentang pengaturan keluarga). Dapat
dikatakan, Islam nyaris musnah dari realitas kehidupan, karena Khilafah yang
menopangnya telah tiada. Padahal, sebagaimana kata Imam Al Ghazali dalam
kitabnya Al Iqtishad fil I’tiqad halaman 199,”_ agama (Islam) adalah pondasi
dan kekuasaan itu adalah penjaga(nya). Segala sesuatu yang tak berpondasi akan
rubuh, dan segala sesuatu yang tak berpenjaga akan hilang lenyap.” (Belhaj,
1991) .
Faktor-Faktor
Kelemahan Internal Daulah Khilafah
Bila kita tengok lembaran
sejarah ke belakang, kehancuran Khilafah itu adalah sesuatu yang wajar, dalam
arti negara itu memang sudah sangat lemah, hingga orang menyebutnya sebagai Ar
Rajul Al Mariidh atau “The Sick Man”. Bahkan kelemahannya ini sudah muncul jauh
sebelumnya, sejak abad-abad pertama lahirnya agama Islam yang mulia ini.
Menurut Syaikh Taqiyyuddin An
Nabhani (1953), pendiri Hizbut Tahrir, dalam kitabnya Ad Daulah Al Islamiyah,
kelemahan ini nampak dalam dua hal, yaitu: Pertama, kelemahan umat dalam
pemahaman (al fahm) terhadap Islam, dan kedua, kelemahan dalam penerapan (at
tathbiq) Islam.
Kelemahan pemahaman ini antara
lain berkenaan dengan nash-nash ajaran Islam, bahasa Arab, dan ketidaksesuaian
praktek ajaran Islam dalam realitas kehidupan. Berkaitan dengan nash-nash
Islam, telah terjadi upaya pembuatan hadits-hadits palsu oleh kaum zindiq,
meskipun kemudian ini dapat ditanggulangi berkat bangkitnya para ulama hadits
dengan memberikan kriteria mengenai keotentikan dan derajat hadits.
Kelemahan dalam bahasa Arab
terjadi saat berkuasanya para Mamalik yang mengabaikan bahasa Arab. Akibatnya
terjadilah kelemahan dalam ijtihad hukum syara’ dan penerapannya dalam
kenyataan.
Kelemahan dalam praktek ajaran
Islam, muncul pada abad-abad pertama karena adanya upaya mengkompromikan ajaran
filsafat India dengan ajaran Islam, sehingga zuhud akhirnya ditafsirkan sebagai
penyiksaan diri (asketisme). Akibatnya, banyak kaum muslimin yang lari dari
kenyataan hidup, padahal tenaga dan pikiran mereka seharusnya dapat
didedikasikan untuk kemajuan negara dan dakwah Islam (An Nabhani, 1953).
Kelemahan pemahaman dalam tiga
aspek ini diperparah dengan Al Ghazwuts Tsaqafi (Perang Budaya) yang
dilancarkan Barat ke negeri-negeri Islam dengan peluru-peluru yang berisikan
peradaban Barat yang bertentangan dengan peradaban Islam. Barat menyebarkan
waham (ilusi) bahwa peradaban Barat sesuai dengan Islam, hingga akhirnya
pemahaman umat terhadap Islam semakin lemah. Mereka akhirnya mengambil sebagian
hukum Barat di masa Daulah Utsmaniyah, mentakwilkan riba dan membuka bank-bank,
memberhentikan penegakan hudud dan mengambil gantinya dari undang-undang Barat.
Adapun kelemahan dalam
penerapan Islam, nampak dari penerapan yang buruk (isa`atut tathbiq) terhadap
hukum Islam dalam kehidupan. Di antaranya ialah adanya partai-partai politik
yang menggunakan kekuatan militer (thariqul quwwah) untuk meraih kekuasaan,
bukan menggunakan dukungan umat (thariqul ummah). Seperti golongan Abbasiyah
yang menduduki Persia dan Irak serta menjadikan wilayah ini sebagai sentral
kekuasaannnya. Lalu dari sini mereka menggulingkan kekuasaan dan menjadikan
Bani Hasyim sebagai para penguasanya. Begitu pula yang dilakukan golongan
Fathimiyin yang telah menduduki Mesir dan menjadikannya sebagai sentral
kekuatannya dengan menjadikan keturunan Fathimah ra sebagai para pemimpinnya.
Di samping itu, kelemahan
lainnya juga nampak dari pemberian otoritas yang besar dan luas kepada para
Wali (Gubernur) di berbagai wilayah. Misalnya diamnya penguasa Abbasiyah
terhadap Abdurrahman Ad Dakhil yang berkuasa di Andalusia dan membiarkannya
berkuasa secara independen. Meskipun Andalusia saat itu masih menjadi bagian
integral dari Khilafah, tetapi wilayah itu sudah terpisah dari segi pengelolaan
pemerintahannya. Demikian pula halnya para penguasa Saljuqiyyin dan
Hamdaniyyin, yang sebenarnya adalah para wali. Khalifah memberikan kewenangan
yang luas kepada mereka sehingga akhirnya mereka mengatur urusan wilayahnya
sendiri secara independen, terlepas dari pusat. Hubungan dengan pusat hanya
formalitas, seperti doa kepada Khalifah di mimbar Jumat, pencetakan mata uang
atas namanya, pengiriman kharaj kepadanya, dan sebagainya (An Nabhani, 1953).
Semua faktor ini telah
melemahkan Daulah Islamiyah, hingga kemudian datang golongan Utsmaniyin
mengambil kendali pemerintahan Khilafah (abad ke-9 H/ke-15 M). Mereka
mempersatukan negeri-negeri Islam seperti negeri-negeri Arab di bawah
kekuasaannya (abad ke-10 H/ke-16 M) kemudian menyebarluaskan Islam ke
negara-negara Eropa. Namun, semua upaya ini tidaklah didasarkan pada pemahaman
yang sahih terhadap Islam dan penerapannya secara benar dalam kehidupan,
melainkan hanya berdasarkan kekuatan iman para Khalifah Utsmaniyah. Akibatnya,
tak lama kemudian Khilafah semakin lama semakin lemah sehingga akhirnya
dijuluki “lelaki yang sakit.”
Kristenisasi
(Al Ghazwut Tabsyiri) dan Perang Politik (Al Ghazwus Siyasi)
Kelemahan internal umat Islam
dalam hal pemahaman dan penerapan Islam tersebut, belum begitu terasa atau
diperhatikan pada masa-masa awal kekuasaan Khilafah Utsmani (abad ke-9 H/ke-15
M). Sebab saat itu mereka mempunyai kekuatan militer yang hebat dan disegani
oleh musuh-musuhnya, yakni negara-negara Eropa. Bila ditimbang, Daulah
Islamiyah masih lebih unggul daripada Eropa dalam bidang pemikiran, hukum, dan
peradaban. Eropa saat itu masih tenggelam dalam abad kegelapan, meskipun sudah
mulai bangkit.
Pada saat yang demikian,
Khilafah melakukan futuhat ke negara-negara Eropa, sampai ke bagian selatan dan
timur wilayah Balkan. Jutaan orang masuk Islam di Albania, Yugoslavia, dan
Bulgaria. Negara-negara Eropa pun mulai membahas bagaimana cara menghadapi
serangan jihad Khilafah ini. Muncullah apa yang dikenal dengan “Masalah Timur”
(al mas`alah asy syarqiyah), yakni bagaimana menghindarkan diri dari serbuan
pasukan Khilafah Utsmaniyah, di bawah pimpinan Muhammad Al Fatih (abad ke-9
H/ke-15 M). Pasukan ini tereksis dan misinya dilanjutkan oleh generasi-generasi
Islam sesudahnya hingga berhentinya jihad pada abad ke-11 H/ke-18 M ketika
pasukan Islam dipimpin Sulaiman Al Qanuni (An Nabhani, 1953).
Barulah pada abad ke-18 M ini,
kelemahan internal dalam negara Khilafah itu makin terasa, diakibatkan oleh
semakin buruknya penerapan Islam oleh negara dan semakin lemahnya pemahaman
kaum muslimin terhadap Islam. Seharusnya saat itu penguasa Khilafah Utsmaniyah
mengambil upaya-upaya perbaikan. Misalnya menggali pemahaman Islam yang sahih
dan murni, memperhatikan bahasa Arab, mendorong ijtihad, serta mengembangkan
aspek pemikiran dan hukum. Namun, sayangnya semua ini tak terjadi.
Sementara itu, pada abad ke-13
H/ke-19 M Eropa sudah bangkit dengan adanya kemajuan ilmu pengetahuan dan
industri, akibat Revolusi Pemikiran (Renaissance dan Humanisme) yang telah
mereka alami, yang selanjutnya mencetuskan Revolusi Industri yang berhasil
dengan gemilang. Topik “Masalah Timur” telah bergeser. Semula topiknya
bagaimana menghindarkan diri dari “bahaya” pasukan Islam. Namun kemudian
berubah menjadi bagaimana menghancurkan Khilafah dan membagi-bagi wilayahnya
yang luas.
Maka dari itu, negara-negara
Barat makin menggencarkan upaya untuk menghancurkan Khilafah yang makin lemah.
Negara Khilafah saat itu telah tercabik-cabik wilayah kekuasaannya akibat
gerakan separatisme yang bertumpu pada ide nasionalisme, yang tersebar akibat
gerakan Kristenisasi/Misionarisme (Al Ghazwut Tabsyiri) di Dunia Islam. Gerakan
ini sudah lama mereka rintis, yakni pada akhir abad ke-16 M tatkala mereka
mendirikan pusat kegiatan Kristenisasi di Malta. Gerakan yang sebagian besarnya
berasal dari negara-negara Inggris, Perancis, dan Amerika ini lalu menebarkan
benih-benih nasionalisme di tubuh negara Islam. Nasionalisme pun lalu tumbuh
subur di seluruh penjuru Daulah Islamiyah, di Balkan, Turki, negeri-negeri
Arab, Armenia, Kurdistan, dan sebagainya.
Negara Khilafah yang telah
lemah itu juga harus menghadapi serangan politik (Al Ghazwus Siyasi) yang
dilancarkan musuh-musuhnya. Serangan ini nampak dengan adanya upaya
negara-negara kafir untuk menduduki negeri-negeri Islam. Rusia di bawah
pimpinan Catherina (1862-1896) telah berhasil merebut dan menduduki beberapa
negeri Islam. Pada tahun 1884 Rusia berhasil melepaskan Turkistan dari
induknya, Khilafah Utsmaniyah, dan kemudian menduduki seluruh wilayah Kaukasus.
Perancis pada tahun 1830 berhasil menduduki Aljazair. Kemudian di bawah
pimpinan Napoleon, pada tahun 1896 Perancis berhasil menguasai Mesir. Pada
tahun 1899 mereka menyerang daerah selatan Syam dan berhasil menduduki Gaza dan
Ramalah. Italia pada tahun 1911 berhasil menduduki Tharablus, sebuah wilayah
Palestina. Inggris pada tahun 1882 telah menguasai Mesir, dan pada tahun 1898
berhasil menduduki Sudan.
Serangan politik ini juga
nampak dengan munculnya gerakan-gerakan yang dikendalikan dan diarahkan oleh
negara-negara Barat, misalnya gerakan-gerakan politik di Turki dan
negeri-negeri Arab. Antara lain partai Turkiya Al Fatah (Turki Muda), partai Al
Ittihad wat Taraqqi (Kesatuan dan Kemajuan), partai Istiqlal Al Arabi
(Kemerdekaan Arab), dan lain-lain.
Pada saat meletus Perang Dunia
I (1914-1918), negara-negara Barat mendapatkan peluang emas untuk menghancurkan
Khilafah. Pada perang ini, Khilafah Utsmaniyah bergabung dengan Jerman melawan
tentara Sekutu (Inggris, Perancis, dan Italia). Akhirnya Sekutu berhasil keluar
sebagai pemenang dan kemudian membagi-bagikan ghanimahnya di antara mereka,
yakni membagi-bagikan negeri-negeri Islam yang berhasil mereka kuasai. Mereka
akhirnya menguasai Mesir, Suriah, Palestina, Yordania Timur, dan Irak.
Pemerintah Utsmaniyah tidak lagi menguasai wilayah mana pun, selain secuil
wilayah yang kemudian disebut dengan Turki (An Nabhani, 1953).
Meletakkan
Posisi Sejarah
Menurut Islam, sejarah
bukanlah sumber hukum dalam pengambilan peraturan. Al-Qur’an, As-Sunnah, Ijma’
sahabat dan qiyas lah yang merupakan sumber hukum Islam. Sehingga kalaupun ada
dalam sejarah Khalifah atau pejabat negara yang dhalim dan tidak adil bukan
berarti menggugurkan kewajiban adanya Khilafah. Karena sejarah bukanlah sebagai
sumber hukum.
Harus disadari, bahwa
Kekhilafahan adalah sistem yang dijalankan oleh manusia, karena itu sangat
mungkin terjadi penyimpangan dari konsep-konsep yang sudah digariskan oleh
Allah SWT. Sejarah kekhilafahan bukanlah fragmen kehidupan yang selalu lurus.
Mungkin saja terjadi penyimpangan terhadap hukum Islam, seperti penguasa yang
dhalim atau pecahnya pemberontakan. Namun tidaklah tepat kalau kemudian
digeneralisasi bahwa sepanjang sejarah kekhilafahan penuh dengan pertumpahan
darah. Apalagi kalau disimpulkan bahwa sistem itu tidak layak digunakan. Karena
memang tidak ada generalisasi dalam sejarah.
Namun demikian, manusia dapat
mengambil pelajaran dari sejarah. Kerusakan yang terjadi pada masa lalu justru
karena hukum-hukum Allah tidak dijalankan. Bukan karena sistem Khilafah itu
sendiri. Belum lagi, sumber-sumber sejarah yang sulit dipertanggungjawabkan
kebenarannya. Karena sejarah selain mengandung fakta juga terdapat interpretasi
dari pembuat sumbernya. Sehingga bagaimana mungkin sesuatu yang meragukan
(sumber sejarah) bisa menggugurkan sesuatu yang pasti (kewajiban berhukum pada
hukum-hukum Allah SWT).
Sejarah TIDAK BOLEH diambil sebagai dalil bagi penetapan
suatu hukum, misalnya wajibnya mendirikan Khilafah. Jika saja sejarah boleh
diambil sebagai argumen, niscaya akan dibolehkan sistem pewarisan kekuasaan
sebagaimana yang diterapkan pada masa Umayyah, Abbasiyyah, dan Utsmaniyyah. Dan
mungkin pula kita saat ini akan sibuk mencari-cari keturunan Khalifah terakhir
dari Dinasti Utsmaniyyah yang masih tersisa (konon katanya hidup di Perancis)
untuk dibai’at.
Adapun yang bisa kita contoh
dari keberadaan Khilafah, mulai dari masa Khulafaur-Rasyidin, Umayyah,
Abbasiyyah, sampai Utsmaniyyah adalah adanya upaya untuk tetap mempersatukan
kaum muslimin di dalam naungan satu entitas politik. Oleh karena itulah
Khilafah didefinisikan sebagai “kepemimpinan umum kaum muslimin di seluruh
dunia”. Inilah yang dituju, yaitu mempersatukan kaum muslimin di dalam satu
kesatuan negara dengan menghapus batas-batas nasionalisme. Bukan hendak
melanjutkan keturunan Dinasti Utsmaniyyah atau dinasti-dinasti apapun. Dan
memang pada kenyataannya harus dikritik keras sistem pewarisan kekuasaan yang
ternyata menjadi salahsatu faktor yang mempercepat runtuhnya Khilafah
Utsmaniyyah.
Kita mempelajari setiap
kejadian pada era Umayyah, Abbasiyyah, dan Utsmaniyyah bukan untuk diambil
sebagai dalil wajibnya Khilafah. Tetapi untuk dipelajari kekurangannya sebagai
bahan pelajaran untuk tidak diulangi lagi ketika membentuk Khilafah di masa
depan, insyaAllah. Misalnya pada masa Umayyah, kita kritik keras sistem putra
mahkota yang dipelopori oleh Khalifah Muawiyyah karena telah merampas hak-hak
politik rakyat yang sudah ditetapkan dalam Islam.
Kemudian pada era Abbasiyyah,
walaupun kebudayaan Islam mencapai puncak emasnya pada saat itu, kita kritik
kebijakan Khilafah yang terlalu longgar memberikan otonomi kepada
wilayah-wilayah yang jauh dari pusat Khilafah (Baghdad), sehingga memunculkan
upaya-upaya pemberontakan dan pelepasan diri. Munculnya kekuasaan Islam yang
terpisah di Cordova (Spanyol) adalah akibat serius dari kebijakan otonomi
tersebut.
Pada masa Utsmaniyyah, memang
betul bahwa mereka telah berhasil mempersatukan kembali wilayah Islam yang
terlepas. Bahkan menaklukkan Konstantinopel, ibukota Romawi Timur pada masa
Sultan Muhammad II “al-Fatih”. Tetapi kesalahan fatal pada masa itu adalah
tidak diperhatikannya tatanan hukum dan pola pikir masyarakat sehingga daya
inovasi dan kreativitas menjadi mandeg. Masyarakat menjadi jumud. Khilafah
Utsmaniyyah terlalu terpesona dengan kekuatan militernya yang tiada banding di
seantero dunia. Hal ini mungkin dilatarbelakangi oleh asal-usul bangsa Seljuk
(pendiri Khilafah Utsmaniyyah) yang dikenal sebagai jago perang. Selain itu
pola pewarisan jabatan menyebabkan Khilafah diperintah oleh orang-orang yang
kurang matang dan tidak berpengalaman. Sepuluh orang Khalifah pertama (sampai
era Sulaiman The Magnificent, 1520-1566) adalah orang-orang yang matang. Tetapi
para Khalifah sesudahnya (kecuali Murad IV, Mustafa III, dan Abdul Hamid II)
adalah orang-orang yang kurang matang bahkan ada yang berada di bawah pengaruh
ibunya (Sultan Osman II, 1618-1622). Selain itu nepotisme yang merebak di
beberapa wilayah telah menyebabkan upaya-upaya pemisahan diri yang menguras
konsentrasi Khalifah sehingga menghambat upaya konsolidasi internal.
Belajar dari
kekurangan-kekurangan tersebut, Bukan sistem Khilafahnya yang salah, tetapi
para pelaksananya telah membuat beberapa penyimpangan sehingga memberi andil
kepada rusaknya bangunan Khilafah. [H. Budi Mulyana, SIP]... wallahualam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar